▽

JOY RIDE

A Jujutsu Kaisen Interactive Fanfiction

1 story, 5 different endings

Satoru Gojo x fem!reader

A collaboration by:

@Kichuunee & @shiuyalan

Synopsis

A strange stranger asking for a lift and a woman with nicotine addiction.

Watch as they both discover that they’re more than a driver and a passenger.

This is a once in a lifetime road trip full of joy, confessions, and unplanned destinations in between—oh, and old music!

🎵 Spotify Playlist

PREFACE

Two things that kind of defines my childhood are road trips and RL Stine’s Goosebumps.

Ever since I got back into writing, it has always been a dream of mine to write a story with multiple endings, based on the reader’s choice. Di saat yang sama, aku mau bikin cerita yang fokusnya di emosi manusia yang kadang kompleks, kadang juga simpel apa adanya. I want the pace to be slower than my usual writing, so it’ll be like peeling a tangerine and seeing how the plith is connected to one another, creating an intricate pattern.

Tapi, mau cuma sekadar mau. Nggak akan terwujud kalau aku nggak mulai. Makanya, aku beruntung banget punya temen kayak Thames yang mau diajak collab dan bikin website ini sebagai wadah untuk tulisanku. Dia juga yang ngasih aku saran pas aku ragu sama alur ceritanya. Beneran deh, kalo nggak ada dia, ini cerita nggak akan jalan. Nggak akan hidup.

Aku juga berterima kasih banget sama Tumini yang mau baca draft berantakanku waktu itu dan ngasih masukan yang oke banget. Ada juga Kak Ayu si jagoanku yang selama ini sering aku mintain saran ini itu dan kali ini jadi orang pertama yang ngetest websitenya.

Terakhir, aku juga mau berterima kasih sama kamu yang udah mau baca cerita ini dan menikmati karya kolaborasiku sama Thames! I hope this road trip is to your liking!

Jangan lupa isi tellonym-ku dan Thames, ya! 😉

—Kichuune

Kichuune's Tellonym

I used to think that I would forever feel trapped in programming, completely neglecting my passion of writing. Little did I know, ada kesempatan yang menunggu di ujung jalan untuk menggabungkan keduanya, dan hanya akan menjadi angan-angan kalau bukan karena idenya Kak Une. I wanted to thank her for trusting me in this project.

I knew that she put a lot of effort into this work, that's exactly why I felt nervous that I wouldn't be able to provide a proper "vessel" for her masterpiece. If I'm allowed to explain it in website development terms, it's like she's in charge of the backend, and I have to wrap the beautiful code in the frontend. But in the end, we both loved how it turned out. Hopefully, you do too.

Banyak saran dan masukan yang membangun dalam pembuatan website ini, baik dari Kak Une dan Kak Ayu sebagai tester pertama. I would like to thank them for their sharp eyes. Also, I want to express my gratitude to all the fellas that showed support for this work, all the kind words (including your future Tello or QRT) meant a lot to us.

—Thames

Thames' Tellonym

DISCLAIMER

  • HEAVY OOC
  • Gojo Satoru belongs to Gege Akutami
  • Written in Indonesia
  • Read WARNING
  • Not for minor
  • This is a collaboration by @Kichuunee and @shiuyalan. Plagiarism of any kind, including but not limited to copying, pasting, recycling the idea, or reposting the content to another platform without proper attribution and permission is strictly prohibited. Please respect our time and effort. If you wish to share this work, please provide a link to this page or properly cite the source.

    WARNING

    This fanfiction may contain mature themes and situations, including but not limited to:

    Mention of trauma, mention of sexual assault, suicidal thoughts and ideation, nicotine addiction, unhealthy coping mechanism, profanities, graphic violence, character death, sexual content, consensual sex, unprotected sex.

    These themes may be disturbing or upsetting to some readers. This fanfiction is intended for mature audiences only and prohibited for readers under the age of 20.

    Reader discretion is strongly advised.

    How to Play

    1. Baca terlebih dahulu disclaimer dan warning.

    2. Baca cerita lalu tentukan pilihanmu dengan hati-hati. Jika sudah memilih, maka kamu tidak akan bisa kembali lagi.

    3. Setiap pilihan akan menentukan ending yang berbeda.

    4. Jika ingin melihat ending yang lain, kamu bisa memulai lagi dari awal.

    5. Jangan lupa berikan tanggapan atau apresiasi melalui Tellonym milik Kichuune dan Shiuyalan!

    6. Enjoy your road trip!

    Aa

    Joy Ride

    Written by: @Kichuunee on twitter.

    Daun kelabu. Langit kelabu. Aspal kelabu.

    Sejauh mata memandang, hanya warna itu yang bisa kutangkap. Kepulan asap dari mulutku menari-nari di udara, menghantarkan bau tembakau yang menyesakkan. Aku benci baunya yang menempel, mengingatkanku pada apartemen tua di tengah kota yang terlampau sempit untuk dihuni empat orang dewasa. Kendati demikian, uangku tetap kutukar demi kotak-kotaknya di toko kelontong dan jempolku masih menekan pemantik korek api di setiap kesempatan.

    “... mayat sang wali kota ditemukan oleh salah satu asisten rumah tangga di kediamannya. Pencarian besar-besaran sedang...”

    Suara televisi dengan volume maksimal dari restoran di belakangku sayup-sayup menembus kaca jendela, lalu kian mengecil kala langkahku semakin mendekati mobil.

    Akan tetapi, di siang yang mendung itu, di tengah lahan parkir yang basah di sebuah restoran kecil, sesuatu menghentikan gerakanku. Ujung manis dan panas batang nikotin itu belum sempat menyentuh bibir saat aku menangkap sesuatu di sudut mata. Bergerak tertatih-tatih seperti merpati yang begitu putus asa ingin tetap hidup meskipun habis ditembak. Dalam gerakan lambat, aku menoleh dan membiarkan rokokku meluncur ke bawah, tenggelam dalam genangan air sehabis hujan.

    Di detik yang sama, aku teringat akan lukisan di gereja yang kukunjungi saat karyawisata. Bagaimana iblis digambarkan dengan warna hitam dan malaikat begitu cantik dalam goresan cat putih. Tapi, yang tengah menatapku tidak memiliki sayap, atau bundaran bercahaya di atas kepala. Rambutnya putih sempurna seperti salju terakhir yang tidak ternoda kotoran jalanan. Iris birunya pucat, mengintip tanpa berkedip dari balik surainya. Layaknya misteri yang menyelubungi garis-garis keunguan di pergelangan tangan dan kakinya, aku pun tidak dapat menafsirkan mengapa tatapannya seperti itu. Lurus dan tajam seperti mata pedang—dan, di bawahnya, aku dibuat tidak berkutik.

    Tiga langkah di depanku, ia baru berhenti. Badannya yang dibalut kaus putih kusam berdiri membungkuk, menjulang seperti menara. Kain itu begitu tipis. Di beberapa titik bahkan sudah hampir koyak. Tanganku yang berada di dalam saku jaket tebal kikuk dibuatnya. Kepulan asap membumbung dari celah bibirnya. Kali ini tidak bau nikotin. Entah bau apa. Sedari tadi aku menahan napas.

    “Hei, Nona,” di tengah helaan napas, suaranya mengalun ke telingaku. Lembut seperti kapas—di saat yang bersamaan, diiringi senyum tipis yang terukir, menyumbat segalanya. Kemampuan berpikirku. Kemampuan bergerakku. Kemampuanku untuk membalas. Mata bagai langit musim panas itu bergulir melewati pundak, ke arah mobil berwarna merah gelap. Tanpa melirikku lagi, pria itu melanjutkan, “Ke mana mobil tua ini akan membawamu?”

    Begini. Santap siangku saja belum tercerna dengan baik—dan hamburger berminyak itu adalah makanan paling layak yang pernah masuk ke perutku setelah empat hari menyusuri pesisir pantai yang terik. Punggungku sekaku papan dan kantung mataku mengatakan sesuatu tentang kualitas tidurku. Aku rasa kombinasi kelelahan luar biasa dan teler karena kekenyangan dapat membuat pikiranmu menjadi lebih kacau dari seharusnya.

    Antara itu atau benar sosoknya yang bercahaya mengacaukan kemampuanku untuk menimbang. Karena, tidak mungkin—di hari-hari biasa—aku akan menjawab pertanyaan semacam itu. Hanya orang gila yang mengungkapkan tujuan perjalanannya kepada orang asing yang... berantakan dan memiliki lebam di sana-sini.

    “Gunung Stroftuk.” Nyatanya, aku lah orang gila itu.

    “Puncak Abadi?”

    Aku tidak lagi menjawab.

    Tapi, ketika bungkamku justru menjadi jawaban, sang pria tidak lagi menunduk. Kepalanya diangkat hingga wajahnya terlihat jelas—sejelas senyum lega yang merekah dalam tempo yang menyakitkan. Secercah matahari menembus lapisan awan, secara dramatis jatuh tepat di atas kulitnya yang serupa pahatan porselen. Pria itu seperti prisma, membelah kelabu tanpa ragu. Kelap-kelip warnanya jatuh di atas bulu mataku, meleleh ke dalam kornea, membutakanku dalam sekejap.

    Saat itu, aku mendadak merasa semuanya menjadi tidak penting lagi. Tidak pada kekhawatiran akan apa yang bisa pria itu lakukan, tidak juga dengan kemungkinan misiku terlaksana bahkan sebelum aku mencapai tujuan.

    “Tujuan kita sama. Maukah kau memberiku tumpangan?”

    Siapa yang akan menyangka bahwa satu gumaman setuju dari bibirku di parkiran basah berlapis pelangi itu dapat mengubah perjalananku seutuhnya?

    ***

    “Satoru.”

    Aku memberikan lirikan singkat pada pria di sampingku, yang tengah melipat kaki dengan nyaman di atas jok. Satu alisku terangkat. Fokusku kembali pada jalanan berkelok di luar jendela.

    “Namaku. Satoru.” Ia mengedikkan bahu. “Kau bisa memanggilku seperti itu, jadi berhenti menggunakan ‘hei’ atau ‘kau’ seolah aku bukan manusia.”

    “Yah, awalnya aku kira kau bukan manusia.”

    Satoru terkekeh geli. Kepalanya ditelengkan ke arahku, pipinya disandarkan pada bahunya yang kini sudah berlapis hoodie tebal bertuliskan Bazar Amal Klub Buku Tahun 2015—diambil terburu-buru dari koperku di bagasi.

    “Memangnya, apa aku di matamu?”

    “Orang gila.” Aku memanyunkan bibir, enggan mengungkapkan impresi awalku perihal sosoknya. Agaknya, malaikat sungguhan akan terhina apabila aku berkata jujur. “Atau calon mayat. Tergantung bagaimana kau akan bersikap selama perjalanan ini.”

    Pepohonan basah berkelebat cepat di sisi kiri dan kanan pagar pembatas jalan. Dedaunannya hijau mengkilap, bersih dari debu akibat hujan beberapa saat yang lalu. Semakin roda mobilku menggilas aspal, semakin keunguan langit yang melatari ranting-ranting kurus itu.

    Satu jam berlalu semenjak Satoru akhirnya memutuskan untuk bergabung, bergelung seperti bayi di kursi penumpang. Ia banyak mengoceh, terlalu semangat melihat hal-hal kecil—seperti bagaimana semua orang terpaku pada ponsel dan mengapa mereka mengenakan sepatu yang membuat kaki terlihat jauh lebih besar.

    Grup musik ABBA menggema merdu dari pemutar musik di dashboard. Cukup untuk mengisi kekosongan. Satoru tidak penasaran dengan itu. Ia justru menganggukkan kepalanya pada bagian intro lagu Super Trouper.

    Aku menelan ludah. Selain mengoceh, ia juga banyak bertanya. Hanya saja, pertanyaan itu tidak pernah tentang tujuanku. Aku merasa, dari nadanya, Satoru berharap aku pun melakukan hal yang sama. Kendati demikian, katakan, bagaimana caranya aku menahan rasa penasaranku ketika sosok malaikat itu menjelma menjadi sebuah enigma?

    “Ruby’s Motel...” wajah Satoru melekat pada jendela yang dingin, mengeja plang besi yang berkedap-kedip mengenaskan di tengah gerimis. Kepalanya diputar ke arahku saat ban mobilku berbelok pelan melewati plang tersebut. “Kita akan menginap?”

    Dari interaksi kami sepanjang perjalanan, aku paham bahwa banyak yang tidak dimengerti oleh Satoru. Termasuk mengapa aku mengerutkan dahi padanya, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia tanyakan.

    “Butuh waktu beberapa hari lagi untuk mencapai Stroktuf. Kau tidak berpikir aku akan menyetir tanpa henti, kan?”

    Satoru mengerucutkan bibirnya. Setelah mobilku terparkir dengan sempurna di depan sebuah bangunan kecil berjendela besar, aku segera membuka pintu dan berlari kecil di bawah gerimis yang lagi-lagi turun. Sang pria berambut putih segera menarik tudungnya hingga menutupi sebagian wajah dan mengikuti langkahku ke dalam.

    Seorang pemuda berkumis tipis sedang asyik menonton pertandingan bola di televisi tabung yang diletakkan pada ambalan dinding ketika kami melewati pintu. Bau apak samar menguar di udara, bercampur dengan asap rokok yang sepertinya baru saja selesai dihisap. Pada dindingnya terpajang beberapa foto dengan warna pudar, menampilkan kondisi motel saat masa kejayaan. Aku meletakkan tangan di atas konter dan menekan bel kecil untuk menarik perhatiannya.

    “Apakah masih ada kamar yang kosong?”

    Pemuda itu melirik malas padaku, lalu pada Satoru yang berdiri membelakangi kami, kemudian kepada gantungan kunci di belakang kepalanya. Jemarinya yang kurus dengan kuku menguning mengambil asal salah satu kunci dan meletakkannya di atas meja.

    “Sisa yang satu kasur saja.”

    “Tidak ada yang—”

    “Tidak.” Ia memotong cepat. Nadanya seperti robot. “Sisa yang satu kasur saja.”

    Aku mengerutkan hidung. Menilik dari parkiran yang hampir kosong, aku asumsikan ia terlalu malas untuk membersihkan kamar-kamar lain yang mungkin jarang terpakai di musim sepi pengunjung seperti ini.

    Enggan berdebat lagi, aku segera menyambar kunci di atas meja setelah memberikannya beberapa lembar uang tunai, sejumlah yang tertera pada papan berisi daftar harga.

    Setidaknya, harga yang dipatok cukup rasional untuk sebuah penginapan yang mungkin—di hari-hari biasa—hanya diisi oleh para buron atau pasangan yang sedang berselingkuh. Lantai berlapis karpet di bawah kakiku menerbangkan debu halus. Satoru tetap berdiri di dekat ambang pintu, masih mengamati entah apa di luar ruangan.

    Tiga langkah dari konter, aku memutar bola mata dan segera membalikkan tubuh, kembali menghadap pemuda berkumis tipis. “Hei, apakah kau menjual rokok juga di sini?”

    ***

    Yah, lumayan. Cukup besar.” Kedua bahuku terangkat, acuh tidak acuh.

    Di sisi lain, Satoru mengerutkan alis. Bibirnya bergerak ke kiri dan kanan, seperti sedang memikirkan sesuatu. “Apakah muat? Maksudku, ini pertama kalinya bagiku, jadi aku tidak terlalu bisa mengira-ngira.”

    “Pertama kalinya bagimu?” aku mendongak, menatap lurus pada iris birunya. “Berani sumpah?”

    “Aku tidak pernah berbagi kasur dengan orang lain.” Satoru menghela napas keras-keras.

    Pandangannya berkeliling, meneliti apa saja yang ada di ruangan itu. Tidak banyak yang bisa dilihat, sebenarnya. Hanya sebuah ranjang dengan sprei putih, televisi kuno di dalam kabinet kayu, sebuah meja bundar kecil dan kursi hijau, juga lemari besar yang berhadapan langsung dengan pintu kamar mandi.

    “Mungkin aku bisa tidur di karpet.”

    Wajahku seketika mengernyit. Bahkan, meski masih dilapisi alas kaki, kulitku mendadak terasa gatal ketika membayangkan aku harus tidur di atas karpet yang kebersihannya patut dipertanyakan.

    “Oh, ayolah,” erangku seraya meletakkan tas ransel di atas kursi hijau. Sekali lagi, aku menatap kasur di tengah ruangan, lalu kepada Satoru yang berdiri canggung di sisi satunya lagi. “Apakah kau tahu seberapa kotor karpet itu?”

    Pria itu tetap berada di posisinya, tidak bergerak seinci pun. Jemarinya yang berada di dalam kantong hoodie bergerak-gerak. Kerutan di dahinya tampak semakin jelas di bawah lampu kuning yang temaram.

    “Aku tidak banyak bergerak ketika tidur. Kau tidak akan tiba-tiba kutendang—”

    “Bukan itu!” setengah membentak, Satoru memotong ucapanku. Ia kemudian kembali bungkam, seolah apapun yang sedang ada di dalam pikirannya itu membuatnya gelisah setengah mati. Mulutnya membuka, kemudian dirapatkan kembali. Pada detik kesekian, Satoru menyerah dan menarik tudungnya semakin ke bawah. “Kau tahu? Baiklah. Lupakan. Aku ambil sisi yang dekat pintu.”

    Aku menatap punggungnya yang diseret menuju kamar mandi. Dari posturnya, aku mengira pria itu sedikit lebih tua dariku. Berjalan bersisian dengannya, kepalaku hanya mencapai dada. Garis-garis wajahnya tegas. Gerakannya luwes. Ia seperti seseorang yang sudah tahu asam garam kehidupan. Maka dari itu, kecanggungannya terhadap kondisi tidur kami membuatku tergelak dalam hati. Satoru tampak seperti anak remaja yang tidak pernah bersentuhan dengan lawan jenis.

    Usai memindahkan ransel ke samping ranjang, aku menyilangkan kaki di atas kursi hijau. Gemeretak tembakau yang dibakar meletup di telingaku. Baunya mengudara setelah aku menghembuskan racun itu ke udara. Menelengkan kepala ke belakang, aku mengintip melalui celah tirai, pada area parkir yang lengang. Hanya ada tiga mobil lain. Lorong di sayap seberang hanya diterangi oleh salah satu lampu.

    Jemariku terkepal di atas lutut. Rahangku mengeras. Tujuh hari lagi, paling lama sembilan. Waktu yang dikalkulasikan sendiri itu terasa seperti tali yang menjerat jantung, semakin ketat tiap detiknya. Di dalam kepalan tangan, keringat dingin mulai bermunculan. Dingin menjalar ke ujung-ujung jemari, membuat kakiku bergoyang-goyang gelisah.

    Tujuh hari. Bagaimana pun caranya, seluruh tabungan di rekening dan tunai di dompet harus bisa mengantarku ke gunung itu. Harus.

    Maka dari itu, menginap di motel murah dengan resiko digigit tungau bukanlah masalah bagiku.

    “Airnya tidak terlalu besar.” Ucap Satoru sesaat setelah melangkah keluar dari kamar mandi. Rambut putihnya yang mencuat ke segala arah kini turun menutupi dahi. Tetesan air dari ujungnya membentuk pola abstrak di atas kaus biru yang kupinjamkan—yang tampak terlalu sesak di badannya.

    Ketika meminta tumpangan padaku, Satoru tidak membawa apapun selain dirinya. Hanya kaus putih lengan panjang dan celana jeans lusuh yang melekat di tubuhnya. Sepatu yang dikenakan pun tampak mengkhawatirkan, terlihat bisa rusak kapan saja.

    Dan ia berharap aku tidak memiliki banyak pertanyaan di otakku? Yang benar saja.

    Aku mengayunkan batang rokokku di udara. “Kau keberatan?”

    “Tidak sama sekali.” Satoru merebahkan dirinya di atas kasur, tepat di hadapanku. Posenya seperti pasien dan aku psikolognya. Tatapannya terpaku pada plafon. “Aku boleh bertanya sesuatu?”

    “Sepanjang perjalanan kau selalu bertanya dan tidak pernah meminta izin.” Aku terkekeh. “Tanya saja.”

    Pria itu menggulingkan tubuhnya ke samping, menghadapku yang sedang membuang abu dari puntung. Cahaya kuning lampu meja menari di atas iris birunya. Tampak seperti sinar matahari di atas danau beku.

    “Siapa namamu?”

    Mataku membelalak. Pertanyaan tersebut sederhana, terlampau normal hingga terdengar konyol—namun sukses membuat pergerakanku terhenti. Hanya sesaat, keheningan menjadi lebih dominan, bahkan menelan suara ban yang menggilas aspal di luar sana.

    Namaku dibisikkan lirih sedetik kemudian, melebur bersama dengung listrik dari kulkas mini dan pemanas ruangan. Getarnya sampai ke telinga sang pria berambut putih, yang perlahan menyunggingkan senyum dan mengulang namaku dalam gumaman. Rendah dan halus. Disimpan untuk dirinya sendiri, untuk diingat. Sesuatu tentang suaranya saat itu mencengkeramku, menahanku agar tidak kemana-mana sampai ia mengajukan pertanyaan lain.

    Tidak. Bukan itu.

    Aku yang mengantisipasi. Aku yang tidak ingin kemana-mana. Aku ingin Satoru bertanya lagi.

    “Dari mana asalmu?”

    Menutupi kecanggungan, aku kembali menghisap nikotin. Tawaku meleleh di dalam kepulan abu-abu. “Apakah ini sesi wawancara?”

    “Tidak boleh?” kelopak mata Satoru membuka dan menutup secara perlahan. Setengah wajahnya tenggelam di dalam lipatan tangannya. “Kita bisa menghentikan sesi wawancara di sini jika itu maumu.”

    “Tidak, tidak seperti itu maksudku.” Jemariku memilin ujung sweater rajut. “Maksudku, kau tidak pernah bertanya apapun tentangku selama perjalanan. Aku hanya... aku kira kau ingin kita tetap menjadi supir dan penumpang.”

    “Cukup masuk akal.” Tubuh Satoru menggeliat masuk ke dalam selimut. “Aku pun berpikir demikian. Kau sama sekali tidak bertanya padaku.”

    Kedua sudut bibirku menggulung ke atas. Konyol sekali bagaimana kami berasumsi demikian terhadap satu sama lain. Satoru, sama sepertiku, melihatku seperti sebuah misteri yang membuat lidahnya gatal.

    “Lantas, aku boleh bertanya?” batangan nikotin itu tidak lagi terlihat menarik. Baranya kutekan pada asbak kaca hingga padam.

    “Aku sudah menunggumu melakukan itu. Tanya saja.”

    Sambil membuka sweater, aku memutari kasur untuk berbaring di samping Satoru. Posisi ini mengingatkanku pada acara menginap yang dulu sering kulakukan bersama teman masa kecilku. Berbaring dengan jarak, kedua tangan terlipat di atas perut, dan memandangi langit-langit seolah ada yang menarik di sana. Biasanya, yang mengalir adalah pertanyaan bodoh yang kemudian bergulir menjadi sesuatu yang lebih dalam.

    Ada banyak pertanyaan tentang Satoru. Begitu banyak hingga aku tidak tahu ingin memulai dari mana.

    “Apa...” aku menelan ludah. “Apa yang terjadi denganmu? Sebelum bertemu denganku?”

    Satoru menarik napas panjang, menahannya sebentar, kemudian keluar bersama kata-kata bernada getir. “Banyak yang terjadi. Tapi, jika kau mengacu pada beberapa jam sebelum aku meminta tumpangan padamu... bisa dibilang aku adalah seorang pelarian.”

    “Buronan?” tanyaku, hati-hati.

    “Tergantung kau ada di pihak mana. Di pihak mereka? Ya, bisa dikatakan aku buronan. Di pihakku? Aku hanya sedang menyelamatkan diri.”

    “Kalau begitu aku ada di pihakmu.” Dari ujung mata, aku mendapati Satoru tengah melirikku, menuntut penjelasan atas keputusan yang tiba-tiba. “Kau babak belur, Satoru. Aku bisa melihat jelas lingkaran merah di pergelangan tanganmu. Itu cukup untuk membuatku percaya bahwa kau sedang menyelamatkan diri.”

    Pria itu terbahak. Mulutnya terbuka lebar, melahirkan tawa kencang dan lepas. Kasur kami berguncang hingga pernya berdecit nyaring. Aku tidak tahu bagian mana dari kalimatku yang lucu, maka aku hanya menunggu gelaknya reda—dengan kecanggungan luar biasa.

    “Kau mengatakan itu hanya untuk mendapat simpatiku?” Satoru mengelap air mata menggunakan telunjuknya. “Kau aneh, Nona. Benar-benar aneh.”

    Bola mataku berputar jengah. Wajah tampannya itu selalu membuatku lupa akan sifatnya yang menyebalkan. Sambil menarik selimut, aku membalikkan badan memunggungi Satoru.

    “Apa, sih, yang bisa kudapat dari simpatimu itu?” timpalku, malas.

    Satoru menjawab dengan kekehan pelan sebelum ruangan itu kembali diisi oleh dengung listrik. Ketukan hujan pada jendela dan lantai koridor seperti metronome yang teratur. Detaknya bergaung tiap detik, menggetarkan otot-ototku—yang kaku karena seharian menyetir—menjadi lebih rileks. Tubuhku membola di atas sprei bau apak dan bantal yang terlalu empuk. Dalam hitungan mundur, pelan tapi pasti, kegelapan melahap kesadaranku seutuhnya.

    ***

    Kreeekk.

    Suara decitan engsel pintu menarikku kembali ke dunia nyata. Pemandangan lemari besar yang menghadap pintu kamar mandi meyakinkanku bahwa aku masih berada di tempat yang sama. Bertahun-tahun hidup satu atap bersama sekumpulan orang gila, suara decitan pintu menjadi alarm yang lebih ampuh dari dering tanda kebakaran. Aku terbiasa mendengarkan dan menerka siapa sekiranya yang membuka pintu kamar. Tapi, kali ini aku sedang tidak berada di apartemen sempit itu. Aku berada di motel—alasan yang kuat mengapa aku harus dua kali lebih waspada.

    Tatapanku berusaha secepat mungkin beradaptasi dengan kepekatan kamar, mencari benda yang setidaknya bisa melindungiku. Sebuah pena yang diletakkan di atas nakas, tepat di samping memo dan telepon kabel, kuraih setenang mungkin. Dalam satu gerakan singkat, aku melompat dari kasur seraya menghunuskan pulpen itu ke depan, memberi ancaman bagi siapapun yang membuat pintu kamar berderit.

    Jantungku berdegup kencang, membakar dada. Napasku memburu. Bola mataku nyalang bergulir ke segala arah, mencari dan mencari. Kendati demikian, tidak ada seorang pun di sana. Di ruangan yang lampunya mati itu, hanya ada aku. Tidak ada Satoru. Sisi kasur yang ditidurinya ditinggalkan dengan selimut tersingkap. Sepatunya tidak ada.

    Apakah yang menutup pintu tadi adalah Satoru?

    Tanganku menggantung lemas di sisi. Dahiku berkerut memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Bisa saja pria itu lapar dan ingin membeli makanan ringan di mesin penjual otomatis.

    Aku meneguk ludah dengan susah payah.

    Bisa jadi juga, mereka yang tengah mengejar Satoru akhirnya menemukan keberadaan pria itu dan menyeretnya keluar. Satoru mungkin sekarang sudah babak belur—atau bahkan meregang nyawa. Mungkin saja, setelah ini giliranku. Ganjaran karena telah membantu buronan mereka.

    Pulpen di genggamanku terasa seperti dilapisi es. Jemari kakiku bergerak-gerak gelisah di atas karpet. Seketika aku dihadapkan pada dua pilihan; untuk bertindak seperti pengecut dan berdiam di kamar atau melegakan kekhawatiranku dengan mencari Satoru di luar kamar.